Sejenak
sebelum membaca semua isinya, barangkali dari judulnya saja sudah mengundang
keingin-tahuan anda, benarkah ada maling yang ahli fiqih.?
Kedengarannya aneh, kok ada maling yang bisa jadi ahli fiqih? Kenapa ia bisa melakukana hal itu? Siapakah ia sebenarnya?
Kedengarannya aneh, kok ada maling yang bisa jadi ahli fiqih? Kenapa ia bisa melakukana hal itu? Siapakah ia sebenarnya?
Untuk
menjawabnya, silahkan simak kisahnya!
Dikisahkan
bahwa suatu malam, seorang Qadli dari Anthokia pergi ke sawah miliknya namun
tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang
maling yang membentak, “Serahkan semua yang engkau miliki.! Kalau tidak, aku
tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu.!”
“Semoga
Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku
adalah seorang Qadli negeri ini, karena itu lepaskan aku,” kata Qadli
“Alhamdulillah,
karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang
sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan
kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali
kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling
“Menurutku,
kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadli
“Benar,
sebab di atas setiap orang yang ‘alim ada yang lebih ‘Alim,”jawabnya tenang
“Kalau
begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, ‘Dien
itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah
sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka
atasnya laknat Allah.’ Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid’ah dan
aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadli mengingatkan
“Wahai
tuan Qadli, ini hadits Mursal (bagian dari hadits Dla’if), periwayatnya tidak
pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun dari Ibn ‘Umar. Kalau pun aku mengikuti
kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si
maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan
tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu
halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, ‘Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia
halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.’ Tidak terdapat perbedaan pendapat
di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga
(tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi
Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat
menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan
selamat,” ujar si maling
“Kalau
memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke sawahku agar singgah ke
penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat
menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang
bersamaku ini,”kata Qadli beralasan
“Tidak
mungkin, tidak mungkin.! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar;
bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir
bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku,”
kata si maling lagi
“Aku
bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadli mempertegas
“Malik
menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak
berlaku).’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara
hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil
terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas
si maling seakan tidak mau berkompromi
Maka,
sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan
celananya. Lalu si maling berkata,
“Serahkan
juga celana itu, ini harus.!”
“Sesungguhnya
sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah
orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya shalat
sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman,
‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ Dikatakan bahwa tafsir ‘hiasan’
tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,” sang Qadli mulai berargumentasi
“Adapun
mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami,
dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang-orang
yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada
di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri
tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang
dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan
menurut Abu Hanifah, ‘mereka shalat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits
yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah
kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan
syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas,
dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji
(kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya.?
Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang
yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadli
tidak berlaku,” sanggah si maling yang ahli fiqih ini
“Kalau
begitu, kamulah Qadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla),
kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah
Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini.” aku sang Qadli mengakhiri
debat itu
Lalu
si maling yang ahli fiqih itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian
berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang
yang mengenalnya.
Qadli
berkata, “Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqih yang disanjung. Namun masa
membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya
tersebut.”
Akhirnya,
sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai
kebutuhan hidupnya. [Al-Misyk@t `08]
No comments:
Post a Comment