Istilah Islam
liberal merupakan istilah yang rancu. Letak kerancuannya ada
pada penggunaan kata liberal untuk mensifati kata Islam. Kata Islam sendiri menurut Al-Jurjani diartikan
sebagai al-khudlu’ wa al-inqiyadu lima akhbara bihi al-rasulu shallallaahu
alaihi wa sallam (ketundukan dan keterikatan terhadap apa yang telah
disampaikan oleh Rasul Saw) (al-Ta’rifat: 27).
Syari’at Islam yang disampaikan
Rasulullah merupakan sitem nilai yang mengandung seperangkat aturan
dan norma-norma yang
berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Seorang yang beragama
Islam, seluruh aspek kehidupannya terikat dengan aturan syari’at Islam. Dengan
sendirinya seorang penganut Islam yang baik, pasti tidak liberal. Artinya
setiap tingkah polahnya terikat pada norma syari’at Islam, demikian juga pola
pikirnya (aqidahnya) tunduk dan patuh pada pola pikir Islam.
Setiap orang Islam, tidak boleh seenaknya membuat
aturan dan ketentuan sendiri yang bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam
al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam al-Qur’an Allah swt secara tegas mengingatkan
bahwa perilaku orang-orang yang secara sengaja membuat aturan main sendiri
sebagai perilaku kesesatan. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Dengan demikian ketika kata liberal yang bermakna kebebasan tanpa adanya batasan disifatkan pada
Islam, pengertiannya menjadi rancu dan tidak jelas. Barangkali karena ketidakjelasan itulah
kenapa Charles Kurzman penulis buku “Liberal Islam” tidak
membuat definisinya yang jelas. Maka, untuk memahami pengertian Islam liberal tidak dapat
didekati secara epistemologis, tetapi perlu menggunakan pendekatan sosiologis.
Dengan menelaah gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para aktivis liberal,
dapat ditarik benang merahnya, bahwa gagasan Islam liberal
memperlihatkan kecenderungan pada faham relativisme (menganggap semua kebenaran
adalah subyektif), skeptisisme (ragu terhadap kebenaran)
dan bahkan agnostisisme (pengingkaran atas adanya kebenaran).
Berpangkal pada pandangan relativisme, skeptisisme, dan agnostisisme ini, kaum liberal menolak adanya dalil qath’i. Dalam pandangan mereka semua dalil statusnya dzanni (relatif). Al-Qur’an dalam
pandangan kaum liberal bukan qath’iyyu al-tsubut tetapi dzaniyyu
al-tsubut. Mereka meragukan otentisitas sejarah al-Qur’an. Kata Luthfi
Assyaukanie (aktivis JIL), hakikat dan sejarah penulisan Al-Quran penuh dengan
berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan,
pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa (www.islamlib.com:
1 Des 2003). Senada dengan Luthfi, Aksin Wijaya dalam bukunya “Menggugat
Otentisitas Wahyu Tuhan” menyatakan:
“Kesakralan Al-Qur’an hanyalah prasangka atau dugaan yang
belum dibuktikan kebenarannya. (Aksin Wijaya, 2004: h. 123)
Kaum liberal juga berpendapat bahwa semua ayat
dalam al-Qur’an adalah dzaniyyu al-dalalah tidak ada yang qath’iyyu
al-dalalah. Mereka juga menolak adanya kebenaran dalam pengertian al-haq
yang merupakan lawan dari al-bathil. Menurut mereka, yang disebut haq dianggap tidak lebih dari sebuah
bentuk penafsiran resmi, atau
paling-paling penafsiran mainstream semata, yang kedudukannya bisa jadi tidak lebih unggul dari pemahaman yang
berseberangan yang disebut bathil. Bathil dan
haq adalah setara, tergantung siapa yang melihatnya. Dalam
kaitannya dengan ini Ulil menuliskan:
Umat Islam harus mengembangkan suatu
pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling
benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber
kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan
hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan
sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah setiap usaha
untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. (Kompas, 18 November 2002).
Kaum liberal juga menolak adanya klaim kebenaran,
termasuk klaim kebenaran yang dimiliki oleh agama, karena klaim kebenaran adalah
pemutlakan kebenaran yang bertentangan dengan faham relativisme mereka. Mereka memandang agama tidak lebih
sebagai tempat alternatif menuju the Real (Tuhan) (lihat John Hick, dalam The Encyclopedia of Religion Vol
12, hal 331). Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa
semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan
pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar. Karenaanya menurut Ulil amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju”
yang dipakai (Kompas, 18 November 2002).
Berangkat dari pemahaman ini, dapat
difahami mengapa
kaum liberal sangat menentang keras terhadap fatwa yang disampaikan oleh siapa
saja yang
menyatakan bahwa suatu kelompok dinyatakan menyimpang, walaupun kelompok
tersebut secara
jelas menurut ketentuan nash yang qath’i
(pasti) memang
menyimpang. Tidak mengherankan pula ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang kesalahan
ajaran shalat bilingual ala Yusman Roy, para aktivis liberal beramai-ramai menyerang MUI dan membela Yusman Roy. Bahkan menyebut Yusman Roy sebagai mujtahid yang setara kedudukannya
dengan al-aimmat al-‘arba’ah. Hal serupa terjadi pada fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyah, Lia Eden, dll. Kaum liberal juga mengajukan judisial riview ke Mahkamah Konstitusi
terhadap PNPS No. 1 th 1965 tentang larangan penodaan agama. Bagi mereka tidak
ada istilah penodaan agama karena tafsiran apapun terhadap suatu agama adalah
sah, sehingga pengekangan terhadap hal itu adalah melanggar HAM.
Dalam masalah moralitas, kaum liberal
juga memandangnya sebagai suatu yang relatif. Ulil Abshar Abdalla mengatakan
bahwa berpakaian menutup aurat intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi
standar kepantasan umum (public decency) yang tentu bersifat fleksibel
dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia (Kompas, 18 November 2002). Padahal al-Qur’an secara gamblang
mengatur batasan aurat:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, .....” (QS. Al-Nur: 31)
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (QS. Al-Ahzab: 59)
Senada dengan Ulil, Gus Dur dalam sebuah wawancara dengan
kajian Utan Kayu menyatakan:
“Moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok
pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang
menutup hingga mata kaki. Sekarang standar moralitas sudah berubah. Memakai rok
pendek bukan cabul lagi. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang
tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi
sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu tarian rakyat; tidak
ada sangkut-pautnya dengan kecabulan. (Jawa Pos, Jum’at, 07 Agustus 2006)
Dari sini dapat dipahami, kenapa
mereka menentang keras Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
(RUU APP), karena dianggap sebagai pemaksaan standar. Dalam hal ini Gus Dur
mengatakan:
Karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau
standar untuk semua, itu sudah pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab,
ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak lain. (Jawa Pos, Jum’at, 07 Agustus 2006)
Penolakan terhadap RUU APP juga
didasarkan atas pandangan sekuler bahwa masalah moralitas adalah ranah privat
sehingga negara tidak boleh campur
tangan terlalu jauh mengaturnya. Dalam logika sekular, masalah moralitas
sebaiknya cukup dikelola oleh institusi keluarga, atau paling banter ormas
saja. Agaknya jalan fikiran seperti inilah yang ternyata sedikit banyak
mempengaruhi fikiran sosok KH Mustofa Bisri ketika beliau berkomentar tentang
RUU APP.
Gus Mus berkomentar di situs
pribadinya www.gusmus.net
sebagai berikut:
“RUU APP itu sendiri
menunjukkan tumpulnya peran tokoh agama, terutama para ulama Islam, dalam
menghadapi globalisasi. RUU APP itu
boleh jadi merupakan simbol kepanikan di kalangan ulama Islam, sebab kelemahan
mereka selama ini terbukti. Mereka tidak mampu membuat formulasi
pencegahan maraknya pornografi, lalu angkat tangan dan menyerahkan soal itu
kepada Negara”.(www.gusmus.net
27 April 2006)
Ada kesan Gus Mus juga melihat
persoalan moral adalah tanggungjawab masyarakat sendiri bukan pemerintah.
Padahal Rasululah SAW dalam sabdanya memerintahkan nahi munkar antara lain
dengan menggunakan tangan yang bisa bermakna dengan kekuasaan, kemudian menggunakan
lesan (tutur kata dan nasehat), dan menggunakan hati. Perintah bernahi munkar
dengan menggunakan tangan juga berarti bahwa dalam penanganan masalah munkarat
tidak bisa tidak perlu pelibatan peran pemerintah. (Tapi ada yang tidak
konsisten dari pikiran kaum liberal. Tatkala Front Pembela Islam (FPI)
melakukan swiping praktik munkar buru-buru mereka berkata itu bukan kewenangan
FPI tapi pemerintah).
Masih berkaitan dengan masalah
moral, dalam menyikapi masalah kemaksiatan kaum liberal memandangnya sebagai
suatu yang wajar yang tidak perlu dilarang selama tidak mengganggu orang lain
karena berbuat maksiat adalah hak asasi. Luthfi Assyaukanie mengatakan:
Menurut
saya kemaksiatan bukanlah sesuatu yang harus dilarang atau apalagi ditumpas
habis. Kemaksiatan adalah unsur intrinsik dalam diri manusia. Ia sama tuanya
dengan usia manusia. Kita semua belajar maksiat dari Adam dan Hawa, ibu-bapak
semua umat manusia. Dan para Nabi juga tak maksum dari kemaksiatan (nabi-nabi
agung seperti Nuh, Luth, dan Ibrahim, semuanya pernah bermaksiat kepada Allah).
Yang perlu
dilakukan adalah membuat aturan dan meregulasi “maksiat.” Minuman keras tak
boleh dilarang, tapi diberikan tempat-tempat khusus bagi orang-orang yang ingin
meminumnya. Prostitusi tak boleh dimusuhi. Tapi diberikan tempat atau
lokalisasi yang wajar. Yang diperlukan di sini bukanlah sikap benci dan
permusuhan, tapi toleransi dan kerendahan hati. (www.islamlib.com; 17
Januari 2005)
Dengan demikian, kaum liberal
mengingkari perintah nahi munkar, baik yang dilakukan perseorangan maupun yang
dilakukan oleh institusi negara. Karena itulah kaum liberal menentang keras
keberadaan peraturan ataupun perda yang
melarang kemaksiatan seperti perda larangan minuman keras, perda larangan
perjudian dan sebagainya. Prof Dr. Musdah Mulia ketua Konferensi
Nasional Lintas Agama (Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP) dalam kesempatan acara konferensi yang
diselenggarakan di Jakarta tanggal 5 hingga 6 Oktober 2009 tersebut, mendesak pemerintah untuk
mencabut perda-perda ini karena dinilai inkonstitusional dan bertentangan dengan Pancasila serta Undang-Undang
Dasar 1945 (Kompas, 6 Oktober
2009).
Senada dengan itu, CMARs (Center for Marginalized Communities Studies)
sebuah LSM berhaluan liberal, menuduh
sejumlah PERDA di beberapa daerah di Jawa Timur yang mengatur tempat-tempat
hiburan malam sebagai PERDA pelanggar HAM.
CMARs juga menuduh aparat yang melakukan razia pasangan mesum di
hotel-hotel selama Ramadhan, sebagai bentuk pelanggaran konstitusi (Syahadah
edisi 2, September 2009).
Kaum liberal juga menolak eksistensi
hukum Allah. Dalam hal ini Ulil
menuliskan:
Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian
seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang
pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah
prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam
klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.
Padahal banyak sekali ayat dalam al-Qur’an yang
menyebutkan hal ini. Misalnya surat al-Ma’idah ayat 45:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.
Demikian juga firman Allah:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. (SQ al-Ma’idah: 48)
Faham Liberal
Di Indonesia
Banyak pihak yang terkecoh bahwa titik tolak
masuknya faham liberal di Indonesia adalah semenjak dideklarasikannya sebuah
kelompok bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) pertengahan tahun 2001 yang lalu.
Bahkan liberalisme di tubuh
umat Islam di Indonesia seolah-olah disederhanakan menjadi JIL. Sehingga, ketika berbicara tentang faham
liberal sasarannya hanya JIL. Hal ini wajar karena JIL lah yang secara provokatif dan
terang-terang mengusung faham liberal dan sekaligus mendeklarasikan dirinya
dengan nama Islam Liberal.
Tetapi, sebenarnya faham
liberal secara luas dengan
berbagai wacana pemikiran yang diusungnya seperti sekularisme, pluralisme
agama, dekonstruksi syari’ah, kesetaraan gender, demokrasi liberal, dsb., telah banyak mengkontaminasi pemikiran
para cendekiawan muslim.
Faham penyamaan agama-agama (pluralisme agama) misalnya, telah banyak merasuki
pemikiran para cendekiawan muslim kita. Dr. Abdul Munir Mulkan dan Dr. Said
Aqiel Siradj merupakan contohnya.
Walaupun mungkin tidak seekstrim pemikiran aktivis JIL yang vulgar dan
berani, setidaknya pandangan ke
dua tokoh tersebut terhadap agama
sudah terpengaruh dengan pandangan liberal.
Abdul Munir Mulkan mantan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menyatakan sebagai berikut:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini
bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan
kamar. Tiap-tiap pintu adalah jalan bagi pemeluk tiap-tiap agama memasuki kamar
surganya” (Ajaran
dan Jalan Keselamatan Syekh Siti Jenar, Kreasi wacana, Yogjakarta, 2002. h. 44)
Said Aqiel Siradj ketika mengomentari agama Islam,
Yahudi, dan Kristen menyatakan:
“Singkatnya ketiga agama tersebut
sama-sama memiliki komitmen untuk menegakkan kalimah tauhid...Dari ketiga macam
tauhid di atas, tauhid Kanisah Orthodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam”( lihat: Bambang Noorsena, Menuju Dialog
Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogjakarta, 2001, h.167-169).
Jauh sebelum kelahiran JIL, beberapa gagasan yang saat ini
diusung oleh para aktivis liberal telah lama masuk ke Indonesia. Faham sekularisme misalnya yang merupakan induk dari liberalisme telah diwanakan oleh Soekarno tahun 1930-an yang lalu. Sebagaimana dimuat dalam majalah
Pandji Islam No. 12 dan 13 tahun 1940 Soekarno
memuji langkah sekularisasi yang dilakukan oleh Kemal Attaturk sebagai
langkah paling modern
(Zarkasyi, dkk. 2004: h. 64). Dalam pandangan Soekarno, agama tidak perlu ikut-ikutan mengurus masalah
publik, tetapi agama cukup menjadi urusan perorangan saja.
Beberapa tokoh Islam ketika itu seperti Muhammad Natsir
dan Ahmad Hasan menolak
pandangan Soekarno tersebut.
Dalam majalah yang sama, Ahmad Hasan menyebut logika Soekarno yang
memuji Attaturk sebagai logika otak lumpur (Zarkasyi, dkk. 2004: h. 64).
Hal ini karena fakta menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Attaturk
justru kebobrokan moral kian parah yang diseponsori oleh para pejabat
pemerintahan yang sekular. Bagaimana kondisi seperti ini dikatakan oleh
Soekarno sebagai kondisi yang baik.
Pada tahun1970-an wacana sekularisasi kembali menjadi perdebatan, khususnya semenjak diselenggarakannya diskusi
oleh HMI, PII, dan GPI tanggal 2 Januari 1970. Dalam kesempatan tersebut
Nurcholish Madjid yang ketika itu menjadi ketuan PB HMI sepulang dari
kunjungannya ke Amerika, menyampaikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam makalah tersebut ada
beberapa poin yang kontroversial antara lain; liberalisasi pandangan terhadap
ajaran Islam, perlunya sekularisasi dan kebebasan berfikir serta perlunya kelompok pembaharu yang liberal.
Tentang sekularisasi, Nurkholis
Madjid menuliskan:
“....dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merubah kaum
Muslimin menjadi sekularis, Tapi dimaksudkannya untuk menduniakan nilai-nilai
yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk mengukhrawikannya” (Saifuddin Anshari, 1973: h. 7)
Kendatipun Nurcholish menyatakan diri menolak
sekularisme, tetapi gagasannya tentang sekularisasi sebagaimana yang
dijelaskannya sendiri semakna dengan sekularisme, yakni pembebasan urusan keduniaan dari urusan agama.
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur, merupakan sosok yang dapat
disebut sebagai salah satu cikal bakal pemikir liberal Islam di Indonesia. Karena ditangannya gagasan liberal bisa
berkembang sampai sekarang. Selain Cak Nur sebenarnya terdapat beberapa aktivis
tahun 70 an yang mempunyai pemikiran yang lebih vulgar dari Cak Nur, tetapi
karena tidak terpublikasikan sehingga tidak banyak diketahui dan tidak
berkembang. Usep Fathuddien misalnya dalam sebuah obrolannya dengan E.
Saifuddin Anshari mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan paduan wahyu dan kearaban.
Menurut Usep, Al-Qur’an merupakan interpretasi Muhammad terhadap wahyu yang
disesuaikan dengan situasi lingkungan kearaban, jadi bukan wahyu itu sendiri.
(lih. E.Saifuddin Anshari; 1973, h. 78).
Di Yogyakarta juga terdapat kelompok diskusi
Limited Group dibawah bimbingan Prof. Mukti Ali yang antara lain beranggotakan
Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan Dawan Rahardjo. Kelompok ini juga sangat
intensif mendiskusikan tema-tema kontemporer termasuk sekitar gagasan
sekularisasi. Namun karena produk diskusi ini tidak terpublikasikan sehingga
juga tidak berkembang.
Budi Harianto dalam buku 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia.menyebut Nurcholis Madjid sebagai pelopor liberalisme di
Indonesia. Disamping dia ada nama-nama
lain yang disebutkan sebagai generasi pelopor liberalisme yaitu; Abdul Mu’ti
Ali, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution, Dawan
Rahardjo, dan Munawir Sjadzali.
Berbeda dengan gagasan sekularisme Soekarno dan juga produk diskusi Limited Group yang tidak berkembang, demikian
juga pandangan Usep tentang al-Qur’an yang juga tidak berkembang, ide Cak Nur berkat dukungan dari media massa telah menyebar luas dan memberikan pengaruh kuat terhadap generasi
intelektual Muslim berikutnya. Komunitas yang menamakan dirinya dengan Jaringan
Islam Liberal bisa disebut
sebagai salah satu penerus
gagasan Cak Nur. Kendatipun Cak Nur tidak pernah menamai gerakannya sebagai
Islam Liberal, tetapi pola pemikiran yang digagas Cak Nur mempunyai corak yang searah dengan Islam Liberal, hanya saja wajah Islam
Liberal terlihat lebih vulgar dibandingkan dengan Cak Nur.
Gagasan penyamaan agama-agama (pluralisme agama) misalnya, secara samar-samar
telah disampaikan oleh Cak Nur dalam bingkai Islam Inklusifnya. Menurut Nurcholish, Islam adalah nama generik agama dan
kemudian menjadi ‘proper name’ (nama diri) dari agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad (Nurcholis
Madjid, 2008: p.181). Namun, Islam yang bermakna kepasrahan diri kepada Tuhan secara generik adalah nama atas semua agama yang
mengajarkan kepasrahan diri kepada Tuhan. Dengan demikian al-Islam dalam makna
generiknya merupakan titik temu agama-agama (kalimah Sawa’) (Nurcholis
Madjid, 2008: h. 181 dan h. 421).
Hal yang krusial dari pandangan Cak Nur adalah
karena beliau menafikan bahwa masing-masing agama mempunyai konsep dan
konstruksi yang bebeda-beda tentang Tuhan. Konsepsi Tuhan dalam Islam, berbeda
dan bahkan bisa bertolak belakang dengan konsep Tuhan dalam pandangan Kristen,
Yahudi, lebih-lebih Hindu, Budha, dll.
Pasca Nurcholies Madjid liberalime
Islam menjadi semakin vulgar. Pemikiran Cak Nur hanya sampai pada tataran
penafsiran teks-teks al-Qur’an yang bebas (liberal), sementara itu ia masih
berangkat dari kerangka eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu yang diyakini
sebagai sumber ajaran Islam. Karena itu ide liberalisme Cak Nur kelihatan
samar, walaupun sebenarnya cara penafsiran
Cak Nur terhadap beberapa ayat al-Qur’an cukup bebas, khususnya terkait
dengan pandangannya tentang inklusifitas Islam yang tidak berbeda dengan faham
pluralisme agama. Berbeda dengan itu, pemikiran aktivis liberal saat ini secara
vulgar sudah memasuki ranah yang lebih jauh tidak saja melakukan rekonstruksi
penafsiran, tetapi mereka telah menggungat eksistensi al-Qur’an dan al-Hadits
yang merupakan sumber utama ajaran Islam.
Gugatan
terhadap otentisitas al-Qur’an dan al-hadits hakikatnya merupakan gugatan
terhadap eksistensi Islam sebagai agama. Ketika eksistensi al-Qur’an dan
al-Hadits sudah runtuh, maka dengan sendirinya kedudukan Islam sebagai agama
juga runtuh. Lebih jauh gugatan terhadap otentisitas al-Qur’an dan al-hadits
bisa merupakan gugatan terhadap eksistensi Allah sebagai Sang
Pencipta.Bisa-bisa kedepan akan muncul pertanyaan; apakah memang Allah itu ada.
Jika seperti ini, maka jelas akan mengarah pada faham atheisme. Di Barat
sendiri memang kebanyakan orang sudah berfikir atheis atau mengingkari
eksistensi tuhan, atau munimal meragukan eksistensi tuhan.
Dari sinilah, pantas saja jika ada
kasus mahasiswa IAIN Sunan Sunan Gunung Djati Bandung membuat spanduk untuk
menyambut mahasiswa baru dengan menuliskan kalimat “Selamat Datang di Area
Bebas Tuhan”. Koran Tempo memberitakan bahwa peristiwa ini terjadi saat
acara OSPEK mahasiwa baru yang diselenggarakan tanggal 24-28 Agustus
2004. Dalam menyambut ospek tersebut terpampang
kalimat ini
yang ditulis di atas spanduk
ukuran 2x2 meter dipasang di ruang pameran jurusan Filsafat. Pada salah satu
sesi acara itu pula enam mahasiswa melakukan orasi di hadapan 2.000 mahasiswa
baru dan kembali memekikkan kalimat, "Selamat datang di area bebas
'tuhan'." Kemudian, beberapa mahasiswa lain mengajak mahasiswa baru
melakukan zikir dengan ucapan "anjinghu akbar.
Munculnya kalimat di atas jika dilihat
secara enteng boleh jadi merupakan bentuk kelatahan mahasiswa belaka. Namun kelatahan
itu merupakan kelatahan yang serius, yang tidak bisa dipandang remeh karena
dapat mengeluarkan orang dari ikatan Islam (murtad). Yang pasti
kelatahan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Seseorang tidak akan melakukan
kelatahan sedemikian ekstrim tanpa sebab dan latar belakang. Kondisi sistem
pengajaran yang sudah mengarah pada suansana liberal lah yang memicu terjadinya
kelatahan tersebut. Mahasiswa yang sudah sering kali menerima paparan wacana
ataupun pernyataan yang bebas tanpa batas membuat mereka tidak sadar lagi
menyampaikan kalimat yang sangat bermasalah dan kontroversial tersebut. Hal ini
jelas sangat memprihatinkan. Seharusnya orang belajar Islam di perguruan tinggi
Islam pula, kepatuhan terhadap agamanya
akan meningkat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan Islam, yaitu untuk
meningkatkan pemahaman terhadap Islam yang pada akhirnya menjadikan orang
semakin taat. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya, orang semakin ragu pada
Islam bahkan mengejek Islam. Karenanya tidak salah bila ada yang mengatakan “Ada
pemurtadan di IAIN”.
ASAL USUL FAHAM LIBERAL
Wacana pemikiran liberal
bukanlah asli dari Islam, tetapi merupakan produk impor dari peradaban Barat atau minimal
terpengaruh oleh peradaban Barat. Liberalisme dan
sekularisme merupakan faham yang berkembang di
Barat. Demikian
juga filsafat
relativisme, skeptisisme, maupun agnostisisme yang menjiwai pemikiran liberal merupakan faham filsafat yang lahir dari Barat yang berakar pada filsafat
Barat klasik yaitu filsafat Yunan. Sejarah Yunani Kuno mencatat bahwa ketiga
faham filsafat tersebut telah mengisi perdebatan para filosof sejak sekitar
tahun 275 SM. Tokoh-tokohnya dikenal sebagai kaum Sofis seperti Pyrrho dan
Protagoras. Di antara mereka yang beraliran skeptis dan agnostis berpendapat bahwa
tak seorangpun mampu mengetahui dan tidak ada seorang pun yang bisa mencapai
pengetahuan. Kaum Sofis yang lain mengusung relativisme. Kelompok ini
memperdebatkan sampai hal yang remeh misalnya menolak mengatakan madu itu
manis, karena sifat manis itu relatif, sehingga yang bisa diterima mereka
adalah pernyataan madu tampaknya manis. (Bertrand Russell, 2004: p. 319-320).
Faham relativisme, skeptisisme dan agnistisisme ini yang sekarang menjiwai
aliran pemikiran liberal, termasuk yang menamakan diri
sebagai Islam liberal.
Berbagai gagasan yang diusung
oleh aktivis liberal seperti pemikiran Nurcholish Madjid tetang sekularisasi yang populer itu, ternyata juga bukanlah pemikiran murni Cak Nur. Adnin Armas peneliti dari
International Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization
(INSISTS) menemukan adanya kemiripan antara gagasan sekularisasi ala Cak Nur
dengan gagasan dari Harvey Cox dan Robert N. Bellah. Dalam hal ini Cak Nur telah
memodifikasinya serta mencari justifikasinya dalam ajaran Islam (Adnin Armas, 2003: hal. 15)
Demikian juga pemikiran Cak
Nur tentang rekonstruksi makna Islam. Cak Nur mengatakan bahwa Islam adalah nama generik agama dan kemudian menjadi ‘proper name’ (nama diri) dari agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad (Nurcholis Madjid, 2008:
p.181). Pernyataan ini ternyata banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Wilfred Camwell Smith.
Wacana tafsir hermeneutika untk al-Qur’an, juga merupakan produk impor dari peradaban
Barat. Metodologi tafsir yang tidak mempunyai patokan yang jelas ini secara
profokatif diintrodusir sebagai metodolologi tafsir yang paling obyektif.
Bahkan hermeneutika telah secara resmi masuk dalam kurikulum perguruan tinggi
Islam. Anehnya sebaagian pengusung hermeneutika kurang memahami makna
hermeneutika itu sendiri. Mereka mendengungkan hermeneutika hanya karena
istilah ini terdengar trendy. Hermeneutika oleh sebagian dari mereka dianggap
seperti ilmu ta’wil yang lazim dalam tradisi penafsiran al-Qur’an.
Berbagai pemikiran lain yang diusung oleh
kelompok liberal juga bersumber dari pemikiran Barat yang dicoba untuk
dicarikan pembenarannya dalam Islam. Pemikiran
tentang kesetaraan gender dan feminisme misalnya merupakan pemikiran yang
berkembang di Barat, yang kemudian masuk ke dunia Islam. Beberapa orang
kemudian berusaha mencarikan pembenarnnya dalam al-Qur’an. Ketika ada ayat yang
bertentangan mereka melakukan pemaknaan kembali yang dipaksakan. Sebagai contoh, ketika Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka....” (QS al-Nisa’: 34)
Ayat tersebut terkesan bertentangan
dengan konsep kesetaraan gender sehingga agar sejalan sebagian mereka mencoba
menafsirkan ulang kata al-Rijaalu bukan jama’ dari kata al-rajulu
yang artinya laki-laki, tetapi kata al-rijaalu dimaknai rujuulah yang
artinya sifat kelelakian. Dengan memaknai menjadi rujuulah, pengusung
kesetaraan gender membuat kesimpulan
tetang ayat di atas bahwa yang menguasai tidaklah mesti laki-laki secara wujud
fisik, tetapi bisa juga wujud fisiknya adalah perempuan asal bisa memainkan
peran lelaki.
Hal
yang sama juga berlaku pada gagasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Beberapa orang
berusaha keras merumuskan gagasan itu dan mencari justifikasinya dalam Islam
sampai-sampai mengalahkan al-Qur’an sendiri. Ide HAM seolah-olah telah
didudukkan sedemikian kuat sehingga tak bisa dibatasi oleh apapun termasuk
al-Qur’an. Sedangkan ide demokrasi dipaksa untuk dipadankan dengan konsep syuro
dalam al-Qur’an padahal antara keduanya mempunyai perbedaan mendasar. Demokrasi
mendudukkan suara terbanyak secara mutlak sebagai sarana untuk menetapkan
pilihan termasuk dalam masalah-masalah prinsip seperti menetapkan hukum dsb.
Sehingga sering dijumpai untuk menetapkan undang-undang ditempuh dengan jalan
voting. Berbeda dengan demokrasi, prinsip syuro mendudukan suara terbanyak
hanya untuk hal-hal teknis, sementara hal yang prinsip termasuk penetapan hukum
tidak boleh menggunakan semata-mata prinsip suara terbanyak, tetapi harus
mendahulukan kekuatan hujjah sehingga, dalam Islam dikenal istilah rajih
dan marjuh. Karena itulah
seyogyanya dalam penerimaan terhadap konsep HAM dan demokrasi perlu didudukkan
secara cermat agar tidak menabrak secara diametral terhadap kaidah-kaidah
Islam.
Pluralisme
Agama (religius pluralizm) juga merupakan faham impor dari Barat yang
kemudian dicari pembenarannya dalam al-Qur’an melalui pemaknaan kembali yang
dipaksakan dan parsial misalnya surat al-Baqarah ayat 62. Dengan ayat ini Dr.
Alwi Sihab menyimpulkan:
“Prinsip lain yang digariskan oleh
al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam
setiap komunitas beragama, dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari
Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan
menolah eksklusivisme. (Alwi Syihab, 1997; h. 108-109)
Liberalisme
dan sekularisme berkembang di Barat adalah merupakan antitesis dari fenomena
yang ada di Barat yang sebenarnya tidak dialami oleh dunia Islam. Fenomena yang
melahirkan sikap klimaks yang ekstrim adalah pertama, adanya trauma sejarah, khususnya yang
berkaitan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Menurut Benard
Lewis (dalam Adian Husaini, 2005; 30) sejarah Eropa Kristen banyak diwarnai
dengan perpecahan, kekafiran dan dengan konflik antar kelompok yang berujung
pada peperangan dan penindasan. Sejarah bermula sejak
zaman Konstantin Agung, dimana terjadi konflik antara gereja Konstantinopel,
Antioch, dan Alexandra, lalu antara Konstantinopel dengan Roma, antara Katholik
dengan Protestan, dan antara berbagai sekte-sekte dalam agama Kristen. Setelah banyak terjadi konflik darah, muncul
pemikiran bahwa kehidupan toleran akan terjadi jika kekuasaan Gereja untuk
mengatur politik dihilangkan, begitu pula sebaliknya campur tangan negara
terhadap gereja. Kedua, Adanya Problem teks Bibel. Ketidakjelasan
asal usul teks Bibel termasuk adanya berbagai versi telah melahirkan keraguan
dan ketidak puasan terhadap Bibel. Ke tiga, problema teologis
Kristen. Banyak hal dalam teologi Kristen yang kontoversial termasuk pertentangannya
dengan ilmu pengetahuan, kotidak jelasan konsep ketuhanan (apakah Yesus itu
tuhan atau nabi, dsb). Ketiga problema tersebut terkait satu sama lainnya,
sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama yang pada ujungnya
melahirkan sikap berfikir sekular dan liberal dalam sejarah tradisi Eropa
modern. Dari sikap sekular dan liberal inilah berkembang relativisme,
skeptisisme dan agnostisisme dan cabang-cabangnya.
Sekularisme
dan liberalisme ini kemudian menyebar ke wilayah lain termasuk ke dunia Islam
melalui globalisasi. Dunia Islam yang secara kebetulan sedang menghadapi krisis
peradaban sementara peradaban Barat yang justru sedang berkibar, telah
memunculkan adanya sikap minder dikalangan sebagian intelektual Islam.
Dibarengi dengan adanya interkakasi yang tidak kritis, serta propaganda
westernisasi yang intensif menimbulkan sikap minder terhadap peradabannya
sendiri yang secara bersamaan melihat Barat sebagai idola. Sikap inilah yang
menjadi cikal bakal liberalisasi di lingkungan Islam.
Akhirnya,
untuk menangkal liberalisme tidak ada cara lain kecuali meneguhkan kembali
bahwa Islam adalah. ya’luu walaa yu’laa alaih dengan berjuang menegakkan
peradaban Islam yang lagi terpuruk.
No comments:
Post a Comment